Sabtu, 23 Februari 2013

now, it's my turn

Kuliah di Psikologi mungkin sama saja seperti kuliah di tempat lainnya. Semakin kita lama berada di dalam jurusan itu dan mempelajari semua hal yang terkait, kita akan semakin mengerti bagaimana sebenarnya ilmu itu dan manfaatnya bagi kita sendiri. Misalnya saja seseorang yang kuliah di jurusan kedokteran umum, tentu semakin lama ia semakin tahu mengenai permasalahan anatomi tubuh, kesehatan, penyakit dan turunannya. Bagi saya pribadi, kuliah di psikologi merupakan berkah tersendiri. Ya, ini berkah, kenapa? Tentu saja karena banyak hal yang saya dapatkan disini. Ilmunya, teman-teman yang beraneka macam bentuk sifatnya, dan berbagai macam pengalaman yang gak mungkin bisa saya dapatkan jika seandainya saya gak disini. Ini semua butuh waktu yang cukup lama untuk benar-benar mengetahui berkah tersembunyi ini. Ahaha, saya juga sempat berfikir dan bertanya manfaat apa yang akan saya dapatkan di jurusan ini. Hingga masuk ke smester paling akhir ini, saya baru menyadari begitu banyak manfaat dan pelajaran yang saya dapatkan disini. Seperti yang telah aku ceritain diatas tadi, kalo semakin kita mendalami suatu ilmu pengetahuan, maka semakin kita mengerti tentang bagaimana menerapkannya dalam kehidupan, termasuk psikologi. 3 setengah tahun menuntut ilmu ini bukanlah waktu yang singkat dan butuh berbagai macam permasalahan untuk menyadarkan aku bahwa sebenarnya bukan tanpa rencana Tuhan meluluskan aq di jurusan ini. Ada banyak hal yang aku dapatkan disini. Disini, aku belajar bertahan ketika orang-orang terdekat menghancurkan semua kepercayaan dan kasih sayang yang aku berikan untuk mereka. Disini aku belajar merelakan mereka sahabat terdekat aku menjadi orang lain yang sama sekali tidak aku kenal. Disini aku belajar bagaimana memaafkan mereka yang menyakiti aku, mengoyak hati aku dan membiarkan aku terpuruk dengan kesedihan. Dan disini juga aku belajar bahwa melupakan kenangan pahit tidak membantu menghilangkan sakit hati yang pernah tergoreskan, hanya dengan memaafkan dan menerimanya kita bisa berdamai dengan sakit itu. Disini aku juga belajar untuk meyakini bahwa karma itu ada. Mungkin aku sudah memaafkan mereka, tetapi karma tetap berjalan teman. Kini aku hanya akan mengatakan “it’s my turn”. Aku bersama mereka yang tersakiti, aku bersama doa-doa yang aku panjatkan hanya akan melihatmu merasakan yang pernah aku rasa. Kenapa? Karna hidup itu berputar seperti roda, teman.

Kamis, 05 Juli 2012

perhaps

Menulis itu salah satu bentuk regulasi emosi. Menulis juga bisa jadi sarana untuk menumpahkan letusan amarah kita. Tidak akan ada balasan secara langsung ketika kita menulis amarah kita di selembar kertas dan selembar kertas tidak mungkin menarik rambut kita hanya karna tulisan kita penuh dengan dengusan napas naga (imajinasi tidak jelas). Mungkin tulisan kali ini sama tidak jelas dengan tulisan lainnya dan aku masih tetap tidak peduli. Pokok dari segala pokok utama di sini regulasi emosi, ingat regulasi emosi..
Edisi regulasi dimulai
Cuaca sangat panas hari ini, ntahlah mungkin neraka sedang bocor jadi uap panasnya ikut merembes ke bumi. Ahahahaha, ini hanya lelucon di antara teman-teman saja. Lucu? Tidak, karena tidak ada yang lucu hari ini. Lanjut. Jadwal kuliah aku tu saat matahari mulai merebah, disaat bayangan sedikit lebih panjang dari bendanya, yap siang jam 2. Setelah setengah jam menunggu dosen yang tak kunjung Nampak batang hidungnya (informasi terakhir di dapatkan,beliau sedang tidak sehat.. “cepat sembuh ya bu”), aku dan teman memutuskan untuk berjalan-jalan dan memuaskan hasrat untuk membeli baju. Ya, di tengah cuaca yang panas dan “bedak gratis” yang terbang kesana kemari kami memutuskan untuk berjalan-jalan. Aah..tidak tepat sebenarnya disebut jalan-jalan karena tujuan kami jelas, kami mau makan dan belanja. Lagi-lagi aku lupa kalau hari ini aku sedang berpuasa. Aku pun menunggu dan berusaha menahan godaan dari teman-teman yang sedang menikmati makanan mereka. Syukurnya mereka mengerti aku puasa dan berusaha makan dengan cepat. Lanjut setelah itu kami memutuskan untuk mengunjungi toko “x” untuk membeli baju. Setelah memutar kesana kemari, melirik kiri kanan, mengambil sebuah baju dan menaruknya kembali dengan sembarangan dan alhasil kami tidak mendapatkan apapun. Saat itu aku masih optimis dan masih dengan aura positif mengajak teman lain untuk melihat ke toko lain. pergilah kami para musafir pencari baju ke toko lainnya. dan sampailah kami di suatu tempat dan menemukan baju yang diinginkan, tetapi lagi-lagi karena wanita selalu banyak yang dipertimbangkan kami pun mengurungkan untuk membeli baju tersebut. Yaa..setelah bertarung dengan panasnya kutaraja dan bedak gratis yang terbang kesana kemari aku mengurungkan niat untuk membeli baju.

Lanjut setelah itu aku memutuskan pulang dan mengirimkan pesan kepada temanku yang mengajakku untuk berbuka di luar. Ntahlah mungkin karena salah komunikasi atau terlalu banyak pesan yang tidak jelas sehingga di detik terakhir aku masih menunggu kabar jadi atau tidak buka puasanya. Lantunan ayat suci sudah berakhir, azan segera di kumandangkan dan ternyata pesan jadi atau tidak itu tidak kunjung datang. Saat azan di kumandangkan pun, pesan itu tetap tidak kunjung datang. Masih berpikir positif, aku menganggap dia kehabisan pulsa dan lupa untuk membatalkan acara ini. Aku pun berniat untuk mengikhlaskannya, dengan berat hati hanya ucapan selamat berbuka yang aku kirimkan. Semenit kemudian masuklah balasan yang mengatakan ia sedang berbuka puasa di suatu daerah. Seketika dunia mendadak berhenti, hanya suara jangkrik yang berbunyi.

Lalu jika ditanya kejadian apa yang paling mengecewakan hari ini, tentu bukan kuliah yang batal karena dosen yang tidak jadi datang. Karena aku tau dosennya sedang sakit. sekalipun dosen tidak sakit lalu kuliah tetap ditiadakan aku tetap senang dan mustahil kecewa. Gagal mendapatkan baju yang sesuai selera juga bukan hal yang mengecewakan, setidaknya aku masih bisa berkumpul dan tertawa dengan teman-temanku. Lalu, apa kejadian akhir ini yang menjadi sumber kekesalan aku, mungkin ya dan mungkin tidak. Aahh..lagi-lagi mungkin ini hanya salah paham dan mungkin aku pun ikut berperan dalam situasi ini..
Speechless..hanya bisa berucap selamat berbuka..

Selasa, 29 Mei 2012

begitulah takdir yang digariskan

Melepas penat di sebuah kamar yang tidak terlalu luas namun cukup untuk menyepikan diri dari kesibukan di kota kutaraja. Sejenak saya baringkan tubuh yang telah terkuras habis tenaganya selama beberapa minggu ini. Seraya melihat langit-langit kamar terlintas kenangan-kenangan yang tersimpan rapi dalam memori. Kenangan yang menyenangkan maupun yang sangat tidak menyenangkan sama sekali. Kenangan saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus jantong hate rakyat aceh hingga sekarang. Tidak, lebih tepatnya kenangan saat pertama kali mendaftarkan diri di kampus ini. Masih membekas dengan jelas saat itu, saya dan seseorang yang saya anggap teman bersama mendaftarkan diri di sebuah universitas negri. Namun untuk berjaga-jaga, kami tidak hanya mendaftarkan diri di satu universitas, tetapi dua unversitas negri di daerah kutaraja ini, ya itulah kampus Jantong dan hate rakyat aceh. dengan berbekal niat yang mantap maka lamaran itu pun kami kirim melalui jaringan layar 4 segi yang disebut internet oleh semua orang. Setelah mendaftar, kami pun mengikuti ujian masuk dan tentu saja ada pengalaman tersendiri mengikuti ujian masuk untuk kedua universitas tersebut. Bulan berganti tibalah pengumuman kelulusan. Saya lulus untuk dua universitas tersebut, namun tidak dengan teman saya ini. Begitulah takdir digariskan untuk kami sebagai teman. Adil, pasti karena bukankah Tuhan Maha Adil?. Hanya untuk saat itu, saya merasa bagaimana bisa dia tidak lulus, bukankah saya masuk di universitas jantong Aceh itu karena jurusan yang sangat teman saya inginkan. Jurusan yang sangat ia dambakan, lagi-lagi begitulah garis takdir kami berdua. Proses pendaftaran ulang pun dilakukan, atas izin dan restu orang tua, saya mengambil kuliah di kedua universitas tersebut. Bulan berganti bulan, begitu juga tahun. Dikarenakan saya harus memilih fokus kuliah di satu universitas saja, maka tertinggallah beberapa pelajaran di universitas islam negri (universitas lainnya). Teman saya pun dengan mantap melangkahkan kakinya terus untuk menamatkan perkuliahannya. Semakin lama pun intensitas pertemuan kami berkurang dan bahkan sampai detik dimana jemari saya menari di atas keyboard kami tidak pernah berjumpa dan bertegur sapa lagi. Apa penyebabnya? Entahlah saya tidak terlalu berani untuk mereka-reka penyebabnya, yang saya tahu begitulah takdir digariskan bagi kami. Kabar terakhir yang saya dengar, ia mulai memasuki tahap akhir. Saya, hmm..ahahaha..tentu masih sangat tertinggal jauh jika di bandingkan dengannya. Walaupun sebenarnya kami dalam posisi yang sama jika dibandingkan dengan kuliah saya di kampus yang satunya lagi. Tidak hanya dengannya saja, tetapi teman satu angkatan saya pun sudah mulai memasuki tahap akhir. Jika ada kelompok mahasiswa abadi untuk kampus ini, mungkin saya termasuk jajarannya (sedikit bangga sebenarnya). Jika ditanya perasaannya senang atau tidak, tentu saya senang. Bagaimana tidak, teman terbaik saya hampir menyelesaikan study nya. Sedih? Tentu, tidak bisa dipungkiri kesedihan itu ada di ruang hati saya. Sedih karena saya tidak bisa seperti mereka dan hilangnya sebuah harta penting dalam diri saya, “pertemanan”. Tapi yang saya pahami, begitulah takdir digariskan untuk kami. Mengembalikan pikiran ke dalam kamar yang tak seberapa luas ini, mencoba mengerti garis takdir untuk saya. Mencoba mengerti dan menarik garis merah dari setiap kenangan yang ada. “setiap pertemuan dalam hidup dan pasti ada perpisahan. Setiap yang bertemu pasti akan berpisah suatu hari nanti. Setiap bernyawa pasti akan merasa kematian. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan” Ini sepenggal janji dari sekian banyak janji yang telah di ucapkan Tuhan dalam kitab petunjuk kebenaran. Ini juga yang saya pahami dalam setiap langkah yang saya ambil dalam hidup saya. Ini juga yang berusaha saya terima setiap kali ada perpisahan, kematian orang yang terdekat, dan kesedihan dalam berbagai hal yang terjadi. Tentu ini hanya sepenggal kisah mengenai pertemuan dan perpisahan dalam hidup. Namun tentu tidak sesederhana ini dan tidak hanya perkara ini saja yang ada dalam hidup, masih ada banyak lagi. 

Kamis, 03 Mei 2012

hanya di tunda

Mentari berwarna merah di ujung garis horizontal. Lantunan ayat suci pun mulai di kumandangkan. Bersaut-saut dari satu tempat ke tempat lainnya. Jemari ini pun mulai merangkaikan kata untuk memberi gambaran kasar tentang perasaan ini. Ya, dalam beberapa hari ini perasaan bisa berubah dengan sangat cepat, sesaat bisa senang kemudian sedih dan akhirnya di tutup dengan kekecewaan. “Galau”, mungkin, tapi sangat enggan mengakuinya. Yap, permasalahannya adalah tentang perjalan ke negri melayu, negri para sultanah. Sangat menyenangkan ketika membayangkan akhirnya tiba juga saat untuk mewujudkan impian terbesar yaitu menjelajah setiap inchi dari bumi ini. Yaaa, setidaknya kalau aku udah menjejakkan kaki di negri melayu itu, sudah berkurang satu tempat untuk aku singgahi. Angan-angan kosong pun mulai bermekaran dalam hati, mulai terbayang-bayang dalam pikiran. Berbagai macam rencana pun mulai di buat, dari pembuatan kartu pengenal ajaib (P) sampai tiket perjalanan. Kemudian tiba di satu titik dimana kami, sebagai anak yang masih di bawah tanggungan orang tua, harus meminta ijin. Disanalah semua angan yag terlanjur terbang tinggi mendadak patah sayapnya dan jatuh menghempas bumi. Restu itu pun tak diberikan. Angan-angan kosong akan tetap kosong sampai hari ini, detik ini. Kecewa,pasti. Bagaimana tidak, impian yang aku pikir sudah berada di depan mata, kesabaran bertahun-tahun akhirnya menuaikan hasilnya, tetapi hanya fatamorgana di tengah gurun pasir. Mungkin mereka tidak akan pernah tahu se’gila’ apa aku dulu ketika menceritakan keinginan terbesarku, dulu sekali. Mungkin mereka tidak pernah tahu se’gila’ apa aku dulu mempelajari bahasa dunia. Dan mungkin tidak ada yang tahu seberapa kecewanya aku ketika untuk kesekian kalinya impian itu hanya tinggal impian kosong. Lalu, apakah aku harus kecewa dan marah dengan teman-temanku yang diberi ijin dan membuat mereka enggan berangkat. Ahaha, tentu saja tidak. Kebahagiaan mereka pun kebahagiaanku. Lalu, apakah aku harus kecewa dengan ibuku yang tidak memberikan ijin karena alasan yang sangat manusiawi. Tentu saja tidak karena alasannya sangat logis dan itulah kenyataannya. Lalu, apa aku harus kecewa dengan Tuhan, aahhh..itu sangat tidak logis teman, bagaimana bisa aku marah dengan Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hambaNya. Lagi-lagi aku kecewa tanpa harus tahu kepada siapa aku kecewa. Kenapa, tentu saja karena aku manusia. Tentu ada saja rencana yang terbaik dan terindah dari semua ini, dan tak satupun tahu rencana apa itu selain Tuhan semesta alam. Tentu, akupun tak mungkin memupuskan harapanku hanya karena ini. Tidak mungkin. Kecewa iya, tapi apa dengan kecewa harapan aku harus hilang? Impian itu kosong untuk sementara waktu, dan akan kembali terisi sedikit demi sedikit. One day, pasti bisa terwujud. Dan jika seandainya tetap tidak bisa, maka saat itulah angan itu menjadi kosong dan lenyap tapi pasti akan ada gantinya. Sebab Dialah yang Cuma tahu apa yang terbaik untukku. Setidaknya mungkin inilah fungsi harapan bagiku. Tentu saja, fungsinya tidak hanya sekedar itu dan lebih dari itu. ini hanya secuil fungsinya dari sudut pandangku.. “Terkadang kesedihan memerlukan kesendirian, meskipun seringkali kesendirian mengundang kesedihan tak tertahankan.”

Kamis, 19 April 2012

setumpuk coretan

Di ceramahi seakan yang menceramahi adalah yang paliing benar merupakan hal paling dan sangat tidak aku suka. Sialnya hari ini aku harus berhadapan dengan kejadian itu. Ya, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan bagian akademik hanya untuk mengurus KHS yang udah berbulan-bulan gak diambil. Sengaja aku terlantarkan sehelai kertas yang katanya sangat berharga bagi mahasiswa karena ada beberapa kesalahan penulisan.

Kejadian ini diawali ketika aku masih senang mendendangkan lagu dengan suara “merdu” karena untuk kesekian kalinya kami libur kuliah. Entah setan apa yang datang tiba-tiba mengingatkan aku pada sehelai kertas yang udah aku meseumkan di akademik. Secepat kura-kura berjalan aku menuju akademik dan kabar yang kuterima ternyata kertas itu masih belum diperbaiki saudara-saudara. Masih dengan kesabaran aku menerima takdirku hari ini. Kemudian hal yang paling menyebalkan pun terjadi, sang tetua pun memulai ritual ceramah dengan bertanya, “ini yang masih kosong memang belum diambilkan mata kuliahny?” dan aku pun dengan santainya menjawab “ ya belom lah bu, kan kuliah dua jadi banyak yang tercecer”. Dan tetua berikutnya mulai merasa paling bijak mengatakan dengan sangat jelas dan panjang lebar “oh, tidak bisa begitu. Kamu seharusnya ambil dulu mata kuliah itu, bukan mata kuliah semester ini yang kamu ambil..bla..bla…bla….”. Masih dengan senyuman aku berusaha tidak memunculkan kedua tanduk “kan banyak yang bentrok, paduka ratu (yang percaya aku bilang gitu, bertambah rukun imannya)”. Tetua itu pun menjawab dengan sewot “ ya, kamu harus pande ngatur waktu dong!”. (Ahahahahha..lucu sekali anda, paduka ratu). Dengan hati panas dan tanduk yang hampir keluar pun aku mengundurkan diri dan berpamitan dengan tetua. Tentunya aku pun berterima kasih atas nasehat yang seharusnya diberikan kepada mereka mahasiswa smester satu yang kuliah dua.

Ya, mereka gak akan pernah tau seberapa susahnya mahasiswa kuliah dua itu mengatur waktu. Belum lagi ketika si dosen memindahkan jadwal seenak jidadnya, belum lagi ketika si dosen minta ganti jadwal atau minta ditambahin pertemuan. Mendengarkan kata harus mengganti pertemuan saja udah membuat hormone adrenalin meningkat, berharap cemas hari yang diganti gak akan bentrok dengan jadwal kuliah lainnya. Atau pun berharap ketika itu bentrok, si dosen dengan hati yang lapang memberikan ijin untuk tidak masuk. Lagi-lagi, mereka itu gak akan pernah tau gimana bercabangnya pikiran orang yang kuliah dua. Mereka gak akan pernah tau ketika mengambil keputusan untuk kuliah dua, maka pikiran mahasiswa itu mulai terbentuk seperti labirin-labirin. Salah jalan bisa berakhir dengan kata “buntu”!

Aah..selalu saja Tuhan mengetahui isi hati, keadaan hati hambaNya dan selalu menghiburnya. Ternyata teman aku yang saat itu pun ditakdirkan untuk memiliki perasaan yang sedang berada pada tahap galau. Kami pun memutuskan untuk pergi ke tempat permainan yang tujuan awalnya untuk melakukan pengamatan. Untuk kesekian kalinya niat hanya tinggal niat, kami pun berkaroke bersama dan sebagian dari mereka menyanyi lagu-lagu yang mengiris hati. Lain dengan yang lain, aku dengan temanku memutuskan menyanyi lagu dengan tempo yang sedikit lebih cepat.

Setelah menghabiskan waktu berjam-jam di tempat yang ternyata banyak menguras isi dompet, kami pun memutuskan untuk kembali ke kampus tercinta. Dan tentunya bukan kampus yang tadi pagi. Melainkan kampus yang satunya lagi. Di kampus ini pun, kembali terjadi kejadian yang sedikit membuat hati berkerut bagaikan jeruk purut. Bagaimana tidak, ada seorang temanku yang sedang berusaha membujuk temanku yang lain untuk mengurus satu urusan. Ketika aku bertanya temanku yang sedang berusaha itu pun hanya mengatakan gak ada apa-apa. Apanya yang tidak ada apa-apa, jelas-jelas ia sedang berusaha untuk membujuk temanku yang lain dan dengan suara yang setengah berbisik ia membicarakan beberapa hal yang tidak aku mengerti dan tidak terdengar jelas (bukan karena aku budeg).

Sangat tidak menyenangkan ketika ada orang yang membahas sesuatu hal di dekat kita dan tidak membiarkan kita tahu isi pembicaraannya. Jika memang aku terlalu tidak pantas mendengarnya, maka lakukanlah di tempat lain. Aah, lagi-lagi mungkin dia yang mulia itu lebih paham tentang aturan berbisik di depan orang lain. Yaa..apalah artinya aku, hanya seorang wanita biasa..

Lagi,lagi hanya bisa berkata SEMUA ADA HIKMAHNYA…

Jumat, 13 April 2012

coretan tidak jelas arah II : "semua ada hikmahnya"

Mencoba menulis lagi malam dengan tema yang berbeda dan dengan pemahaman yang berbeda pula. Bagaimana cara memulainya pun masih belum jelas, mencoba merangkaikan kata yang tepat selama beberapa jam yang lalu tetap saja tidak bisa. Berusaha sedikit puitis atau bersajak laksana pujangga pun masih tetap membuat tangan ini menekan tombol ctrl dan a kemudian delete. Masih dalam kebingungan untuk memulai bagaimana, aku pun memaksa untuk tetap menulis dan memaksa pula kesepuluh jari ini untuk tidak menekan tombol keramat itu. Satu paragraph pun selesai. (fiiiuuuuh -_-“)

Sebenarnya yang ingin aku bahas hanyalah sepotong kalimat ,” semua ada hikmahnya”. Singkat namun sangat berpengaruh menurut aku. Bahkan beberapa teman yang akhir-akhir ini mendengarkan kalimat itu pun masih belum memahami maksud dari aku mengatakannya, ntahlah mungkin ilmu yang ku punya masih terlalu dini sehingga tidak mampu menjelaskan dengan baik maksud kata ini. Aku pun tidak begitu bernyali untuk menjelaskannya. Bahkan salah satunya berpendapat bahwa aku sedang dalam aura positif yang berlebihan karena aku yang biasanya bisa langsung agresif dengan orang yang tidak sepaham mendadak hanya memilih marah dalam diam dan mengatakan “semua ada hikmahnya”

Terlihat singkat namun memiliki kekuatan yang cukup besar teman. Dengan mengatakannya saja sudah membuat kejadian yang tidak menyenangkan dan membuat wajah merah padam menjadi bersemu merah muda (tentu tidak sesederhana itu, pren). Aku hanya ingin mengatakan bahwa ketika aku mengucapkan kata itu, tidak berarti aku memahami dan mengetahui bahwa di situasi yang sangat tidak menyenangkan ini ada hikmahnya. Namun aku hanya meyakini bahwa hikmah itu ada dan hanya karena ilmu pengetahuan ku yang masih dini aku masih belum mendapatkannya. Ketika aku mengucapkannya, yang aku tahu aku sedang berdamai dengan situasi yang sangat tidak nyaman dan mencoba membujuk pikiran ku untuk tidak terlalu berjalan ke arah kesesatan. Hanya dengan kata itu, harapan untuk kehidupan yang lebih baik pun bermunculan. Aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa manusia itu bisa hidup beberapa hari tanpa makan dan minum (gak pecaya, di coba aja ), tetapi manusia akan langsung mati dalam sedetik jika tidak punya harapan. Bagiku, dengan mengucapkan kata itu harapan pun bermunculan di hadapanku. Harapan bahwa esok akan lebih baik, harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan jika aku bersalah dalam situasi ini, maka aku berharap dapat memperbaiki di kemudian hari serta harapan bahwa dengan mengambil hikmahnya dapat memudahkanku untuk mengerti kehidupan.

Kalian tahu teman, kehidupan terlalu sempit jika selalu diisi dengan keluh kesah, protes terhadap nasib yang tidak adil, melihat masalah hanya dari satu sisi saja, dan berbagai macam protes lainnya. Menurut aku hidup yang singkat ini akan lebih baik jika diisi dengan hal-hal yang bermakna, yang membuat harapan positif tetap bermunculan dalam sudut hati. Hidup juga lebih nyaman ketika kita bisa berdamai dengan perasaan kita. Sialnya kata itu hanya bisa membuat kita merasa lebih baik dan menahan kita sejenak dari perasaan yang tidak menyenangkan. Kata tersebut bukanlah kata keramat yang jika kita mengatakannya maka kita akan bisa lebih awet muda atau lebih dewasa atau masalah pun bisa selesai. Kata itu juga tidak membuat kita cepat kaya dengan mengucapkannya sebanyak yang kita mau (dicoba kalo gka pecaya). Hanya membuat kita bisa berdamai dengan perasaan dan membuat pikiran menjadi lebih jernih.

Aah, lagi-lagi ini hanya pemahaman ku mengenai kata tersebut. Tentu definisinya tidak sesederhana yang ku jelaskan, bisa saja lebih sederhana lagi atau bahkan bisa lebih rumit. Aku hanya mencoba melihatnya dari sudut pandang yang berbeda dan mengartikannya dengan arti yang berbeda pula. Lagi-lagi hanya bisa berspekulasi mengenai mana yang paling tepat. Akhir tulisan ini, aku ingin sedikit mengutip kalimat dari sebuah novel favoritku :
Bagiku waktu selalu pagi.
Ketika janji-janji baru muncul
seiring embun menggelayut di ujung dedaunan
Ketika harapan-harapan baru merekah
bersama kabut yang mengambang di persawahan
hingga nun jauh di kaki pegunungan
(Senja Bersama Rosie)

Selasa, 10 April 2012

coretan tidak jelas arah

Kali ini aku menulis hanya bermodalkan keinginan ku yang mengebu-gebu untuk menggambarkan perasaan yang sebenarnya tidak jelas apakah ini bahagia yang terlalu atau apalah itu namanya. Tidak pandai aku merangkaikannya lagi karna aku bukanlah remaja tanggung yang akan menuliskan sajak –sajak hanya untuk menggambarkan apa yang ia rasakan.

Mungkin hari ini adalah hari yang penuh kejutan. Hari dimana aku tidak mengerti sama sekali kenapa di saat aku mati-matian menghapal semua ramuan sukses ujian, justru soal yang keluar bisa di jawab jika tidak belajar (bukan aku yang mengatakannya tetapi kawanku, walaupun aku sedikit mengakuinya, ingat SEDIKIT). Begitu juga sebaliknya ketika aku tidak belajar sama sekali bahkan aku sibuk menghabiskan satu novel dari penulis favoritku justru soal yang keluar sungguh luar binasa, hingga ‘ilham’ pun tidak kunjung turun di detik terakhir ujian. Ya..benar, hari ini aku melalui 2 ujian yang sungguh menguras otak dan membuat tangan keram menjawabnya.

Tidak hanya berhenti disitu teman, selesai mengurus soal-soal ujian itu, aku pun memutuskan untuk mengisi perut yang sudah kosong sejak semalam (semoga ibunda tidak membacanya) dan bergabung dengan teman. Kami pun membahas bahan presentasi midterm besok dan hanya butuh satu minggu untuk menyelesaikan. Tentu hal ini bukan karena kami sangat rajin , tetapi karna memang segitulah batas waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya. Cukup menguras otak mendiskusikan bahan “yang mulia” tersebut hingga akhirnya kami putuskan bertanya dengan seorang dosen. Bagaimana tidak, kami sudah berkali-kali mengantukkan kepala ke dinding, mengelengkannya, memukul meja namun kesepakatan tidak pernah bulat (tentu kalian tidak percaya kalimat ini, bukan? hahaha).

Dan saudara-saudara sekalian, tidak disitu saja kejadian hari ini berakhir, masih ada satu kejadian lagi yang membuat hari ini sempurna mengubah ‘mood terbaikku’. Itulah evaluasi laporan yang tiba-tiba saja dilakukan tanpa persetujuan kami. Bagi mereka yang kuliah satu mungkin hal ini biasa, tapi bagi ku dan teman senasibku yang kuliah dua, ini bagaikan sumbu kompor yang di sulut apinya. Kami pun berusaha memperjuangkan nasib kami walaupun tidak sampai mencetak spanduk dan mengajak massa untuk mengamuk bersama. Alhasil, nihil saudara-saudara. Asisten tetap KEKEUH kami harus mengikuti evaluasi “yang mulia itu”. Aku pun hanya bisa menggurutu dalam hati, memasang muka ‘manis’ (tak rela menyebutnya masam).

Selesai dengan semua itu, aku pun pulang dan tiba dengan selamat di kamar yang tak seberapa ini. Hanya menatap layar 4 segi dan sedikit melepas lelah dengan membaca berita tidak penting yang membuatku lupa hal terpenting hari ini. KIRIMAN DARI KAMPUNGKU!

Aku pun langsung menghubungi teman sebelah kamarku, karna kebetulan kiriman itu dititip padanya. Dan ternyata aku harus menunggu satu jam lagi, teman ku sedang berada di luar daerah tempat tinggal kosku (sedikit mendramatisir). Tak lama kemudian, pintu kamar di ketok dan barang yang ditunggu datang. Tak lupa mengucapkan terima kasih dan aku pun membukanya. Ternyata, memang benar lagu yang sering ku nyanyikan ketika aku kecil ‘kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa…’ padahal hanya satu hal yang aku pesan, tapi sekardus yang aku terima. Ketika sedang mengeluarkan barang dan merapikan kardus, tampak tulisan yang aku kenali, yaa siapa lagi kalau bukan adikku, tertulis disana ‘oleh-oleh untuk kak nyanyak’. Dan entah sejak kapan barang yang di buat di rumah bisa menjadi oleh-oleh seolah-olah itu buah tangan dari tamasya. Hanya segaris senyuman selebar 2 cm kiri dan kanan yang muncul di wajah dan ini cukup menghapus semua kekesalan dan ketidakpahamanku tentang kejadian hari ini.

Kalian tahu teman, apa yang paling di rindukan oleh anak-anak rantauan seperti kami ini,
“Kiriman dari orang tua tentu bukan dalam hal financial, tetapi lebih kepada materi yang tidak sengaja kami minta karena menahan kerinduan untuk pulang ke rumah. Dari itu semua, tentu ada yang lebih penting lagi, yaitu kunjungan orang tua. Sekalipun ketika mereka pamit untuk pulang, ada keinginan dalam hati untuk minta ikut pulang bersama.”


Setidaknya hari ini ada yang membuatku paham mengenai makna dari kerinduan dan harapan itu sendiri. Yang pasti tidak sesederhana seperti kirim-mengirim barang dan kunjungan orang tua. Tetapi lebih dari itu. Hanya saja inilah kerinduan dan harapan yang aku definisikan dari sudut pandang yang berbeda dan dari permasalahan yang sangat sederhana menurutku.

Aaaahhh..mungkin ini pun masih ada kekurangannya, bukan karena perasaanku yang salah tetapi mungkin karena ilmu penyampaian dan pemahamanku yang masih sempit.