Selasa, 29 Mei 2012

begitulah takdir yang digariskan

Melepas penat di sebuah kamar yang tidak terlalu luas namun cukup untuk menyepikan diri dari kesibukan di kota kutaraja. Sejenak saya baringkan tubuh yang telah terkuras habis tenaganya selama beberapa minggu ini. Seraya melihat langit-langit kamar terlintas kenangan-kenangan yang tersimpan rapi dalam memori. Kenangan yang menyenangkan maupun yang sangat tidak menyenangkan sama sekali. Kenangan saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus jantong hate rakyat aceh hingga sekarang. Tidak, lebih tepatnya kenangan saat pertama kali mendaftarkan diri di kampus ini. Masih membekas dengan jelas saat itu, saya dan seseorang yang saya anggap teman bersama mendaftarkan diri di sebuah universitas negri. Namun untuk berjaga-jaga, kami tidak hanya mendaftarkan diri di satu universitas, tetapi dua unversitas negri di daerah kutaraja ini, ya itulah kampus Jantong dan hate rakyat aceh. dengan berbekal niat yang mantap maka lamaran itu pun kami kirim melalui jaringan layar 4 segi yang disebut internet oleh semua orang. Setelah mendaftar, kami pun mengikuti ujian masuk dan tentu saja ada pengalaman tersendiri mengikuti ujian masuk untuk kedua universitas tersebut. Bulan berganti tibalah pengumuman kelulusan. Saya lulus untuk dua universitas tersebut, namun tidak dengan teman saya ini. Begitulah takdir digariskan untuk kami sebagai teman. Adil, pasti karena bukankah Tuhan Maha Adil?. Hanya untuk saat itu, saya merasa bagaimana bisa dia tidak lulus, bukankah saya masuk di universitas jantong Aceh itu karena jurusan yang sangat teman saya inginkan. Jurusan yang sangat ia dambakan, lagi-lagi begitulah garis takdir kami berdua. Proses pendaftaran ulang pun dilakukan, atas izin dan restu orang tua, saya mengambil kuliah di kedua universitas tersebut. Bulan berganti bulan, begitu juga tahun. Dikarenakan saya harus memilih fokus kuliah di satu universitas saja, maka tertinggallah beberapa pelajaran di universitas islam negri (universitas lainnya). Teman saya pun dengan mantap melangkahkan kakinya terus untuk menamatkan perkuliahannya. Semakin lama pun intensitas pertemuan kami berkurang dan bahkan sampai detik dimana jemari saya menari di atas keyboard kami tidak pernah berjumpa dan bertegur sapa lagi. Apa penyebabnya? Entahlah saya tidak terlalu berani untuk mereka-reka penyebabnya, yang saya tahu begitulah takdir digariskan bagi kami. Kabar terakhir yang saya dengar, ia mulai memasuki tahap akhir. Saya, hmm..ahahaha..tentu masih sangat tertinggal jauh jika di bandingkan dengannya. Walaupun sebenarnya kami dalam posisi yang sama jika dibandingkan dengan kuliah saya di kampus yang satunya lagi. Tidak hanya dengannya saja, tetapi teman satu angkatan saya pun sudah mulai memasuki tahap akhir. Jika ada kelompok mahasiswa abadi untuk kampus ini, mungkin saya termasuk jajarannya (sedikit bangga sebenarnya). Jika ditanya perasaannya senang atau tidak, tentu saya senang. Bagaimana tidak, teman terbaik saya hampir menyelesaikan study nya. Sedih? Tentu, tidak bisa dipungkiri kesedihan itu ada di ruang hati saya. Sedih karena saya tidak bisa seperti mereka dan hilangnya sebuah harta penting dalam diri saya, “pertemanan”. Tapi yang saya pahami, begitulah takdir digariskan untuk kami. Mengembalikan pikiran ke dalam kamar yang tak seberapa luas ini, mencoba mengerti garis takdir untuk saya. Mencoba mengerti dan menarik garis merah dari setiap kenangan yang ada. “setiap pertemuan dalam hidup dan pasti ada perpisahan. Setiap yang bertemu pasti akan berpisah suatu hari nanti. Setiap bernyawa pasti akan merasa kematian. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan” Ini sepenggal janji dari sekian banyak janji yang telah di ucapkan Tuhan dalam kitab petunjuk kebenaran. Ini juga yang saya pahami dalam setiap langkah yang saya ambil dalam hidup saya. Ini juga yang berusaha saya terima setiap kali ada perpisahan, kematian orang yang terdekat, dan kesedihan dalam berbagai hal yang terjadi. Tentu ini hanya sepenggal kisah mengenai pertemuan dan perpisahan dalam hidup. Namun tentu tidak sesederhana ini dan tidak hanya perkara ini saja yang ada dalam hidup, masih ada banyak lagi. 

Kamis, 03 Mei 2012

hanya di tunda

Mentari berwarna merah di ujung garis horizontal. Lantunan ayat suci pun mulai di kumandangkan. Bersaut-saut dari satu tempat ke tempat lainnya. Jemari ini pun mulai merangkaikan kata untuk memberi gambaran kasar tentang perasaan ini. Ya, dalam beberapa hari ini perasaan bisa berubah dengan sangat cepat, sesaat bisa senang kemudian sedih dan akhirnya di tutup dengan kekecewaan. “Galau”, mungkin, tapi sangat enggan mengakuinya. Yap, permasalahannya adalah tentang perjalan ke negri melayu, negri para sultanah. Sangat menyenangkan ketika membayangkan akhirnya tiba juga saat untuk mewujudkan impian terbesar yaitu menjelajah setiap inchi dari bumi ini. Yaaa, setidaknya kalau aku udah menjejakkan kaki di negri melayu itu, sudah berkurang satu tempat untuk aku singgahi. Angan-angan kosong pun mulai bermekaran dalam hati, mulai terbayang-bayang dalam pikiran. Berbagai macam rencana pun mulai di buat, dari pembuatan kartu pengenal ajaib (P) sampai tiket perjalanan. Kemudian tiba di satu titik dimana kami, sebagai anak yang masih di bawah tanggungan orang tua, harus meminta ijin. Disanalah semua angan yag terlanjur terbang tinggi mendadak patah sayapnya dan jatuh menghempas bumi. Restu itu pun tak diberikan. Angan-angan kosong akan tetap kosong sampai hari ini, detik ini. Kecewa,pasti. Bagaimana tidak, impian yang aku pikir sudah berada di depan mata, kesabaran bertahun-tahun akhirnya menuaikan hasilnya, tetapi hanya fatamorgana di tengah gurun pasir. Mungkin mereka tidak akan pernah tahu se’gila’ apa aku dulu ketika menceritakan keinginan terbesarku, dulu sekali. Mungkin mereka tidak pernah tahu se’gila’ apa aku dulu mempelajari bahasa dunia. Dan mungkin tidak ada yang tahu seberapa kecewanya aku ketika untuk kesekian kalinya impian itu hanya tinggal impian kosong. Lalu, apakah aku harus kecewa dan marah dengan teman-temanku yang diberi ijin dan membuat mereka enggan berangkat. Ahaha, tentu saja tidak. Kebahagiaan mereka pun kebahagiaanku. Lalu, apakah aku harus kecewa dengan ibuku yang tidak memberikan ijin karena alasan yang sangat manusiawi. Tentu saja tidak karena alasannya sangat logis dan itulah kenyataannya. Lalu, apa aku harus kecewa dengan Tuhan, aahhh..itu sangat tidak logis teman, bagaimana bisa aku marah dengan Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hambaNya. Lagi-lagi aku kecewa tanpa harus tahu kepada siapa aku kecewa. Kenapa, tentu saja karena aku manusia. Tentu ada saja rencana yang terbaik dan terindah dari semua ini, dan tak satupun tahu rencana apa itu selain Tuhan semesta alam. Tentu, akupun tak mungkin memupuskan harapanku hanya karena ini. Tidak mungkin. Kecewa iya, tapi apa dengan kecewa harapan aku harus hilang? Impian itu kosong untuk sementara waktu, dan akan kembali terisi sedikit demi sedikit. One day, pasti bisa terwujud. Dan jika seandainya tetap tidak bisa, maka saat itulah angan itu menjadi kosong dan lenyap tapi pasti akan ada gantinya. Sebab Dialah yang Cuma tahu apa yang terbaik untukku. Setidaknya mungkin inilah fungsi harapan bagiku. Tentu saja, fungsinya tidak hanya sekedar itu dan lebih dari itu. ini hanya secuil fungsinya dari sudut pandangku.. “Terkadang kesedihan memerlukan kesendirian, meskipun seringkali kesendirian mengundang kesedihan tak tertahankan.”